Tak bisa dimungkiri, penerbangan merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Kala pandemi, mungkin jumlahnya berkurang secara drastis. Namun sebentar lagi, saat batas negara dibuka dan bepergian diizinkan kembali, jumlahnya akan merangkak naik seiring dengan frekuensi penerbangan yang beroperasi.

Maskapai-maskapai dunia punya senjata untuk merawat alam. Beberapa bahkan berlomba menjadi yang paling ramah lingkungan melalui beragam inisiatif, contohnya mereduksi penggunaan plastik untuk katering di pesawat, menggunakan armada yang hemat bahan bakar, hingga mendorong penumpang untuk lebih hemat makanan demi memangkas sampah makanan.

Pada 2019, ide baru muncul bagi maskapai untuk merawat alam: carbon offset, yakni sebuah inisiatif memberi kompensasi atas emisi bahan bakar. Bentuknya beragam, mulai dari mengadakan reboisasi, daur ulang limbah, hingga investasi ke lembaga konservasi. 

Finnair, misalnya, pada Januari 2019 meluncurkan program Push for Change yang menggandeng NEFCO, organisasi yang mengurusi proyek lingkungan. Lewat program ini, penumpang diajak untuk menyumbang satu hingga enam euro di mana uangnya akan dipakai untuk membeli kompor modern yang didistribusikan di Mozambique sebagai pengganti kompor kayu bakar yang berkontribusi dalam penebangan hutan. Selain itu, lewat Push for Change pula, maskapai nasional Finlandia tersebut juga menggalang dana publik untuk mendukung penerbangan berbahan bakar biofuel.

Namun tak semua maskapai membagi beban carbon offset dengan penumpang. Emirates, misalnya. Maskapai yang bermarkas di Dubai tersebut mengawali programnya dengan mengganti amardanya dengan yang ramah lingkungan, kemudian mengadakan program daur, menekan jumlah sampah, serta efinsiasi penggunaan air. Tak hanya itu, Emirates juga “menebus dosanya” dengan menyumbang ke organisasi-organisasi konservasi.

Qantas, maskapai nasional Australia, menjadi yang terdepan dalam hal merawat alam. Sejak 2007, maskapai ini telah mengantongi sertifikat NCOS Carbon Neutral Program. Qantas juga merupakan maskapai dengan program carbon offset terbesar di dunia dengan jumlah mencapai 2,5 juta ton karbon emisi dengan cara menyumbang ke organisasi-organisasi konservasi—termasuk perawatan hutan hujan di Papua New Guinea.

Hingga saat ini, carbon offset masih bersifat sukarela. Artinya, semua tergantung kepedulian dan kreativitas maskapai. Namun dalam waktu dekat, kebijakan itu berubah menjadi regulasi. Berdasarkan perjanjian Carbon Offsetting & Reduction Scheme for International Aviation yang disahkan oleh PBB pada 2018, seluruh maskapai yang terbang lintas benua wajib menerapkan carbon offset mulai 2021.